Jumat, 27 Maret 2009

Model dan Pola Implementasi CSR Perusahaan

Model Corporate Social Responsibility
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa model implementasi CSR perusahaan diIndonesia mencakup hal-hal berikut ini:
1. Bantuan sosial
Meliputi: bakti sosial, pengadaan sarana kesehatan, rumah ibadah, jalandan sarana umum lainnya, penganggulangan bencana alam, pengentasan kemiskinan danpembinaan masyarakat.
2. Pendidikan dan pengembangan
Meliputi: penggadaan sarana pendidikan dan pelatihan, melaksanakan pelatihan dan memberikan program beasiswa kepada anak-anak usia sekolah.
3. Ekonomi
Meliputi: mengadakan program kemitraan, memberikan dana atau pinjaman
lunak untuk pengembangan usaha dan memberdayakan masyarakat sekitar.
4. Lingkungan
Meliputi: pengelolaan lingkungan, penanganan limbah, melakukan reklamasi, dan melestarikan alam dan keanekaragaman hayati.
5. Konsumen
Meliputi: perbaikan produk secara berkesinambungan, pelayanan bebas pulsa
dan menjamin ketersediaan produk.
6. Karyawan
Meliputi: program jaminan hari tua, keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan program renumerasi yang baik


Pola Corporate Social Responsibility
Sedikitnya ada empat pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu:
1. Keterlibatan langsung.
Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan.
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund.
3. Bermitra dengan pihak lain.
Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah (NGO/LSM), instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes,Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium.
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yangdisepakati bersama (Saidi, 2004:64-65).

Sabtu, 21 Maret 2009

Mengintip CSR Perusahaan

Globalisasi ditandai dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat dan informasi menjadi semakin mudah diakses. Dunia ekonomi semakin transparan. Era keterbukaan ini menempatkan perusahaan semakin berada di bawah pengawasan lensa mikroskop yang dapat dilihat siapa saja, kapan saja dan dari mana saja, artinya siapapun dapat mengetahui tentang apapun termasuk aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan dengan cepat.

Perusahaan seringkali lupa akan fungsinya. Seharusnya, perusahaan selain berfungsi sebagai organisasi bisnis sekaligus juga berfungsi sebagai organisasi sosial. Perusahaan yang hanya berorientasi bisnis akan menghadapi tantangan karena baik secara langsung ataupun tidak langsung harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya mulai dari input, proses hingga output. Aktivitas unit usaha tidak dapat terlepas dari lingkungan sosialnya. Perusahaan menggunakan sumber daya alam sebagai bahan untuk menghasilkan barang atau jasa dan menggunakan sumber daya manusia sebagai motor pengerak aktivitasnya. Keterbukaan ini mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya dampak perusahaan pada kondisi sosial dan lingkungannya. Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap perusahaan mulai menekan perusahaan untuk mulai melaksanakan kewajiban sosial dan lingkungannya.

Pemerintah menyadari akan perlunya tanggungjawab sosial perusahaan terhadap lingkungannya. Untuk itu, pemerintah menerapan Undang-Undang PT No. 40 Tahun 2007 pasal 74 tentang corporate social responsibility (CSR) yang telah menjadi isu hangat. Banyak perusahaan gerah dan merasa semakin dipersempit ruang geraknya. Dunia usaha merasa bahwa keharusan akan penerapan corporate social responsibility (CSR) yang disertai dengan sanksi tidak seimbang dengan upaya pemerintah dalam melakukan pembenahan iklim investasi bisnis di Indonesia. Pengusaha menganggap mereka sudah membayar pajak, sehingga tanggungjawab sosial merupakan tanggungjawab pemerintah. Perusahaan didirikan dengan harapan untuk dapat bertumbuh secara berkelanjutan (sustainable growth). Agar perusahaan dapat terus bertumbuh maka perusahaan harus memiliki kemampuan untuk dapat hidup. Kemampuan ini dapat dilihat dari kemampuan sosial perusahaan seperti kemampuan perusahaan untuk mengendalikan dampak lingkungan, menggunakan tenaga kerja dari lingkungan di sekitar lokasi pabrik, aktif melakukan kegiatan sosial, memberikan perhatian pada peningkatan kepuasan konsumen dan memberikan pertumbuhan laba yang layak bagi investor.

Keberadaan perusahaan dalam masyarakat dapat memberikan aspek yang positif dan negatif. Di satu sisi, perusahaan menyediakan barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat, namun di sisi lain tidak jarang masyarakat mendapatkan dampak buruk dari aktivitas bisnis perusahaan. Banyak kasus ketidakpuasan publik yang bermunculan, baik yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan, perlakuan tidak adil kepada pekerja, kaum minoritas dan perempuan, penyalahgunaan wewenang, keamanan dan kualitas produk, serta eksploitasi besar-besaran terhadap energi dan sumber daya alam yang menyebabkan kerusakan alam.

Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987). Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).

Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak for better or worse, bagi kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.
Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004). Misalnya, PT Aneka Tambang, Tbk menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya. Corporate Social Responsibility (CSR) makin ramai diperbincangkan belakangan ini baik di kalangan masyarakat umum, dunia bisnis dan pemerintah. Istilah CSR sering kali digunakan secara bergantian dengan istilah lainnya seperti corporate citizenship, corporate ethics dan corporate sustainability. Di dalam tulisan ini untuk penyederhanaan pembahasan ke semua istilah tersebut dianggap memiliki pengertian yang sama. Secara singkat, CSR mengandung makna bahwa, sama seperti individu, perusahaan memiliki tugas moral untuk berlaku jujur, mematuhi hukum, menjunjung integritas, dan tidak korup. CSR menekankan bahwa perusahaan mesti mengembangkan praktik bisnis yang etis dan sustainable secara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Tidak mengherankan kalau kemudian CSR dianggap sebagai jawaban terhadap praktik bisnis yang mencari untung sebesar-besarnya. Bahkan sementara kalangan lain menganggap CSR dianggap sebagai beban yang mengganggu konsentrasi perusahaan untuk memaksimalkan shareholder value. Dunia bisnis kerap menganggap bahwa satu-satunya tanggung jawab mereka adalah terhadap pemilik saham (shareholders). Namun demikian, meningkatnya dampak negatif sepak terjang korporasi lokal maupun global terhadap kehidupan sosial dan lingkungan menjadi pemicu terhadap munculnya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi kegiatan korporasi. Pada kenyatannya CSR tidak serta merta dipraktikkan oleh semua perusahaan. Beberapa perusahaan yang menerapkan CSR justru dianggap sok sosial. Ada juga yang berhasil memberikan materi riil kepada masyarakat, namun di ruang publik nama perusahaan gagal menarik simpati orang. Hal ini terjadi karena CSR dilakukan secara latah dan tidak didukung konsep yang baik. Dalam gagasan CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan lingkungan hidup. Kesadaran tentang pentingnya mempraktikkan CSR ini menjadi tren global seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Sebagai contoh, penerapan kebijakan dalam pemberian pinjaman dana oleh bank-bank Eropa. Umumnya bank-bank Eropa hanya akan memberikan pinjaman kepada perusahaan perkebunan di Asia apabila ada jaminan dari perusahaan tersebut, yaitu pada saat membuka lahan perkebunan tidak dilakukan dengan membakar hutan.